Namanya Maali. Dia merasa sangat bahagia ketika menatap padang rumput di depannya. Padang rumput hijau di bawah langit biru bersih. Awan putih bersinar seperti gulungan bantal kapas. Matahari pun bersinar sebening kristal, memberi warna pada pohon, rumput, bunga, tupai bahkan serangga di bawah semak pun dapat terlihat, sebab sinarnya menyebar ke seluruh penjuru tanpa pilih kasih.
Angin musim panas menyusup ke sela-sela rambut abu Maali dan menghambur menutup wajahnya tak membuat rasa bahagia Maali tergantikan. Semilir hangat yang dibawa angin menyesap ke seluruh permukaan kulit Maali. Hatinya terasa damai dan tenang, tidak ingin keindahan di depannya sirna.
Indah, tenang. Rasa syukur atas segala objek yang ditangkap matanya terlalu sempurna.
Satu hari, dua minggu, tiga bulan, empat tahun berlalu... Rasa bahagia Maali masih tetap bertahan. Negerinya yang masih sama membuatnya bahagia.
Namun satu perasaan lain telah tumbuh dalam dirinya. Sebuah rasa yang sangat berbeda dengan bahagia-nya selama ini. Rasa itu hampa, dingin, gelap dan lembab. Rasa itu membuatnya lelah. Terkadang. Karena rasa itu tak selalu muncul ke permukaan dirinya.
Rasa itu mampu menghancurkan angan-angan kebahagiaan dan ketenangan Maali sekali usap.
Walaupun tak hancur seluruhnya, tapi untuk membangun rasa bahagia-nya, kemudian dihancurkan dalam satu usapan, dia bangun kembali dan dihancurkan, membuat Maali kelelahan.
Dunia Maali yang bahagia sekarang tak lagi sama.
Sebuah rasa yang Maali rasakan di negerinya adalah rasa yang manusia rasakan oleh sepi, sebab ketenangan yang terlalu sunyi, ketenangan karena hanya seorang diri, dan kehancuran rasa akan bayangan kebahagiaan tak tergapai- rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar