Rabu, 21 Februari 2018

I’ve been watching a drama of me for many years



Selama dua hari kemarin lusa begadang nonton drama yang bikin tidur dini hari. Kalau bukan karena kepala pusing dan keinget udah pagi aku belum bakal nutup laptop, berhenti. Esoknya dapat azab dua jerawat dipipi, bangun kesiangan, bangun-bangun kepala masih pusing. Kerugian lain: aku  lalai belajar materi uas karena si drama terlalu menggoda. Iya aku nyesel tapi udah telat, terlanjur.*Jangan dicontoh ya, tonton drama dengan sehat dan jaga kesadaranmu. Tapi selain efek buruk yang aku alami karena godaan si drama , aku dapat banyak pelajaran yang yang kadang sehari-hari aku sepelekan. Beruntung penyesalanku enggak sepenuhnya sia-sia.

Selama aku nonton drama, aku terpikir satu hal. Andaikan hidupku kaya drama yang aku tonton, aku akan hidup bahagia. Kalian yang suka nonton drama pasti udah hafal kalau kebanyakan drama akan berakhir bahagia, isn’t it? Dan sebagai penonton nggak jarang berandai-andai ingin jadi si tokoh happy ending drama. Ingin drama itu terjadi di kehidupan nyata kita. Ingin semujur dan seberuntung si tokoh. Apa kalian pernah punya pikiran seperti apa yang aku imajinasikan?

Tapi aku juga tersadar satu hal. Di kebanyakan drama yang menurut penilaianku bagus, hampir tidak pernah drama-drama itu punya konflik—maksudku plot twist yang terlalu sederhana. Si tokoh enggak selalu dapat nasib bahagia dari awal hingga akhir, si tokoh pasti kena masalah. Jarang yang hidupnya berjalan mulus-mulus aja kayak di negeri dongeng. Semakin rumit masalahnya dan semakin unik masalahanya, semakin bagus drama itu, menurutku.  Yang bagian punya masalahnya ini kalo dibayangin: aku enggak mau kayak gini, untung aku enggak kaya gitu. Iyakah? Padahal. Itu yang bikin dramanya jadi tambah seru. Bikin deg-deg an dan juga nguras energi si penonton *nguras perasaan tepatnya.

Di dalam drama : Ada konflik> proses penyelesaian konflik>konflik selesai> happy ending.  Jika di dunia nyata : Ada konflik kemudian tidak ada jaminan akan happy ending.  Sebab kita  sebagai tokoh, kita enggak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi dimasa depan. Ini dunia nyata, kita nggak bisa nge-skip waktu, fase adanya konflik dan penyelesaiannya adalah yang paling lama. Ada banyak kemungkinan yang bikin lama, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun.

Jadi,  bisa dibilang kunci happy ending ending di drama itu : ketika konflik telah diselesaikan seluruhnya.  Se-buruk nya, se-rumit nya, se-aneh nya, se-kompleks nya konflik di dalam drama, si tokoh yang bersangkutan akan tetap menyelesaikan konflik itu. Iya kan? Dan... Semua tokoh drama pada akirnya berhasil menyelesaikan malasah mereka.

Sekarang aku sedang  menonton drama tentang hidup non fiksi-ku. Aku sudah menontonnya bertahun-tahun hingga sekarang entah sampai kapan bakal datang happy ending ku. Karena aku masih berada di fase konflik dan aku belum menyelesaikannya hingga akhir. Makanya, kalau aku tidak happy ending, itu belum masanya, belum. Sebaliknya, Kalau tidak ada penyelesaian dari konflik ku, aku kabur dari dia, masuk akal**  kah drama hidupku bakal  happy ending?
Selamat nonton drama
Have a good story

**cerita nggak masuk akal : cerita enggak nyambung

Jumat, 09 Februari 2018

Ekstrovert untuk Introvert

“Tebak! Aku termasuk ras ekstrovert atau introvert?“
Apakah diantara kalian ada yang menanyakan pertanyaan sepele tapi memuaskan macam ini ke orang-orang yang mengenal kalian dan pada diri kalian sendiri?

Aku hanya ingin tahu seberapa banyak para pemilik otak terlalu penasaran pada hal tersier seperti ini sejenis otak penasaran milikku. Otak yang malah sering peduli untuk memikirkan berbagai hal tak penting. *Hahaha lebih sepele dan nggak berguna kan alasannya.

Balik lagi tentang ekstrovert dan introvert. Kalau aku menanyakan tentang ini pada diriku sendiri. Aku mengakui dan 80% aku yakin orang-orang yang mengenalku, mengatakan: aku adalah ras introvert. Betul aku introvert. Dari judul tulisan ini saja, kalian yang bahkan hanya sepintas membaca,  akan langsung tahu aku termasuk ras sifat yang mana bilamana kalian ‘cukup’ peka.

Apa kalian nyaman dengan sifatmu itu jika kalian ekstrovert atau introvert? Nyaman dengan sifat itu untuk waktu yang lama, bahkan selamanya? Kalau jawabanya ‘iya’ yang berarti nyaman, kok aku enggak ya? Aku yang introvert juga ingin menjadi ras pemilik sifat ekstrovert. Aku serakah dan bosan menjadi “terlalu” introvert. Paling enggak aku ingin secuil keberanian, kelihaian, keterbukaan, yang menjadi sumber kecerdasan para ras ekstrovert.

Ini karena, sejak dulu aku enggak mengenal banyak orang. Aku benar-benar enggak mau orang-orang tau tentang diriku lebih banyak. Dunia ku hanya untukku, tak mengijinkan orang lain masuk ke dalamnya. Hasil negatif dari penjara yang aku buat untuk diriku sendiri, ketika aku melihat keluar dari jendelanya, aku mengamati, membandingkan dengan manusia lain antara diriku dan mereka, aku menyadari bahwa ras introvert yang mengalir dalam diriku mulai salah aku kembangkan ke arah negatif. Aku menjadi sosok penakut dan pengecut. Bertemu orang diam canggung, tak peduli, sangat pemalu, bicara dengan orang asing seperlunya dan singkat, ada orang baru—kabur menghindar sembunyi, sebisa mungkin menghindari percakapan, mau ngobrol mikir lama dulu karena blank enggak tau mau ngomong apa. Aku bosan dengan sisi diriku yang ini. Aku enggak mungkin bisa hidup seperti yang aku imajinasikan jika sifatku pengecut seperti ini. Dalam hal ini aku butuh kekuatan ras ekstrovert. Bumi sangat luas tempat kita ini dihuni oleh manusia yang tersebar merata keseluruh penjuru. Dimanapun aku berada aku akan bertemu dengan kaumku. Karena aku manusia dan tak bisa aku pungkiri aku adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi.  Kalian tahu kan kalau ini keahlian ras ekstrovert?

Dengan aku berinteraksi untuk mengenal banyak orang, bertemu berbagai jenis manusia, bertemu dengan manusia yang mempunyai berbagai macam sudut pandang, mengetahui berbagai tingkah laku mereka, keberagaman sikap mereka dan keseluruhan apa yang mereka lakukan untuk menjalani masing-masing hidupnya. Singkatnya, aku menjadi penasaran bagaimana mereka mengatasi, menyikapi jalan hidup yang mereka tempuh. Aku mulai belajar banyak hal dari mereka. Hal yang tak mungkin aku pelajari ketika aku mengunci pintu ku terlalu rapat. Bukankah untuk mempelajari ini aku butuh kisah mereka? Dengan apa aku tau kisah mereka? Bagaimana agar mereka mau untuk menceritakan kisahnya untukku? Jawabanya masih sama:  ‘berinteraksi dengan mereka’. Lalu apa gunanya aku belajar dari kisah-kisah mereka? Hmm karena aku nggak perlu jatuh dilubang yang sama dan bukan tidak mungkin aku bisa menaiki tangga yang sama dengan mereka untuk mencapai lantai atas bukan?

Interaksi bukan melulu tentang individu per individu atau dengan segerombolan orang dalam lingkup kecil. Tapi juga interaksi dengan khalayak umum. Maksudku adalah public speaking. Public speaking bertujuan untuk menyalurkan ide, gagasan kita yang sebelumnya hanya berputar-putar diotak kepada audience untuk mempengaruhi, menguasai, mengajarkan, membujuk mereka sesuai tujuan dari apa yang kita utarakan. Makanya para public speakers itu jago ngomong. Nah, komunikasi atau jago ngomong ini paling dibutuhkan kalo kita mau sukses berinteraksi. Supaya nantinya nggak ada lagi kejadian kaku lidah, kaku otak seperti yang selalu aku alami.

Manusia bisa bicara, berbagai macam bahasa. Ini salah satu yang membedakannya dengan hewan. Dan ini juga yang membedakan taraf kecerdasan kita dengan hewan. Ketika kita bertemu orang pertama kali, bukankah yang akan kita nilai setelah penampilan adalah tutur kata? Kita bisa menebak sekilas kepribadian mereka dari cara mereka berkomunikasi. Masalahnya, untuk mengobrol dengan satu orang yang nggak begitu aku kenal saja adalah hal tersulit bagiku sejak awal. Apalagi bertemu banyak orang dikeramaian dan harus menjadi pusat perhatian. Aku tidak tahu bagaimana dan apa yang akan aku lakukan untuk melakukan hal yang aku enggak pernah bisa menikmatinya. Juga untuk mengobrol—menjelaskan sesuatu ke orang terdekatku hingga lidahku rasanya terpelintir, jarang dari mereka yang mengerti maksud apa yang ingin aku sampaikan.

Aku sadari, untuk melalui semua itu aku butuh belajar menumbuhkan keberanian dalam diriku. Keberanian yang membuatku mampu percaya diri. Semakin lama akan memunculkan rasa nyaman dalam diriku lalu akirnya aku juga akan bisa menikmatinya sebab aku akan merasa itu semakin mudah karena aku telah makin mahir melakukanya. Iya hanya sesingkat itu sebenarnya. Tapi, tapi, tapi, kata setelah “tapi” yang menjadi alasanku, selanjutnya menjadi penghalangku karena aku akhirnya terlalu berfokus pada kata dibelakang ‘tapi’ tersebut. ‘Ini akan sulit’, hal yang sejenis itu. Ini sulit, Karena aku hanya belum sepenuh hati mencobanya. Belajar sedikit demi sedikit, setahap demi tahap. Aku tau ini sangat bertentangan dengan sifat diriku. Namun apa salahnya mencoba hal baru yang akan menguntungkan untukku dikemudian hari? Belajar belajar belajar. Semua butuh dipelajari karena manusia enggak akan bisa berhenti belajar. Aku harus belajar berinteraksi, aku harus belajar ngomong. The most important is I should be brave

Memang, ras introvert dan ekstrovert punya ke khas-an masing-masing. Mereka punya caranya sendiri untuk mengekspresikan diri mereka. Contohya, ‘jika ras introvert condong ke menulis, ras ekstrovert condong ke public speaking.  Jadi tidak perlu mengubah apa yang sudah jadi bakat alamiah kita, hanya perlu di asah lagi lebih dalam’. Iya itu benar. Bukankah dengan pola pikir yang seperti itu, aku malah akan membuat pilihan untuk tidak akan berubah juga aku tidak akan pernah mengembangkan diriku? Aku makin terperosok, membusuk dalam penjaraku yang kian lama semakin amblas ke bawah jauh dari permukan bumi.

Keterbukaan juga tak selalu membuatku selalu nyaman pada akhirnya. Aku tetap butuh masa sendiri—sunyi untuk memperoleh rasa nyamanku, ketenangan-ku. Karena sejak awal aku menyukainya. Sudah aku katakan sebelumnya, aku serakah karena ingin menjadi introvert yang juga mampu menjadi ekstrovert. Masing-masing hal pasti ada keuntungan kerugiannya kan? Bukankah jika saling melengkapi akan lebih mengutungkan? Aku akan tahu kapan aku harus berperan sebagai introvert dan kapan aku harus ekstrovert. Itu salah satu alasaku.

Aku kagum dengan kekayaan pemikiran ras introvert dan aku takjub dengan keterbukaan ras ekstrovert. Mereka luar biasa. Nggak ada salahnya kan jadi ambivert? Lebih memudahkan ku beradaptasi.

Btw ras ambivert dari yang aku baca, mereka punya sifat dua duanya dari ras introvert dan ekstrovert. Mungkin juga banyak diantara kalian termasuk ras ambivert. Tapi kebanyakan, walaupun punya sifat keduanya, salah satu yang akan lebih dominan meskipun hanya sedikit jarak perbandingan keduanya. Tinggal upaya kita mau di bawa kemana ‘itu’.

Bagaimana menurut kalian?  
Tinggalin jejak kalian di bawah ya^^