“Tebak! Aku termasuk ras ekstrovert atau introvert?“
Apakah diantara kalian ada yang menanyakan pertanyaan
sepele tapi memuaskan macam ini ke orang-orang yang mengenal kalian dan pada
diri kalian sendiri?
Aku hanya ingin tahu seberapa banyak para pemilik
otak terlalu penasaran pada hal tersier seperti ini sejenis otak penasaran
milikku. Otak yang malah sering peduli untuk memikirkan berbagai hal tak
penting. *Hahaha lebih sepele dan nggak berguna kan alasannya.
Balik lagi tentang ekstrovert dan introvert. Kalau aku
menanyakan tentang ini pada diriku sendiri. Aku mengakui dan 80% aku yakin
orang-orang yang mengenalku, mengatakan: aku adalah ras introvert. Betul aku
introvert. Dari judul tulisan ini saja, kalian yang bahkan hanya sepintas
membaca, akan langsung tahu aku
termasuk ras sifat yang mana bilamana kalian ‘cukup’ peka.
Apa kalian nyaman dengan sifatmu itu jika kalian
ekstrovert atau introvert? Nyaman dengan sifat itu untuk waktu yang lama,
bahkan selamanya? Kalau jawabanya ‘iya’ yang berarti nyaman, kok aku enggak ya?
Aku yang introvert juga ingin menjadi ras pemilik sifat ekstrovert. Aku serakah
dan bosan menjadi “terlalu” introvert. Paling enggak aku ingin secuil keberanian,
kelihaian, keterbukaan, yang menjadi sumber kecerdasan para ras ekstrovert.
Ini karena, sejak dulu aku enggak mengenal banyak
orang. Aku benar-benar enggak mau orang-orang tau tentang diriku lebih banyak.
Dunia ku hanya untukku, tak mengijinkan orang lain masuk ke dalamnya. Hasil
negatif dari penjara yang aku buat untuk diriku sendiri, ketika aku melihat
keluar dari jendelanya, aku mengamati, membandingkan dengan manusia lain antara
diriku dan mereka, aku menyadari bahwa ras introvert yang mengalir dalam diriku
mulai salah aku kembangkan ke arah negatif. Aku menjadi sosok penakut dan
pengecut. Bertemu orang diam canggung, tak peduli, sangat pemalu, bicara dengan
orang asing seperlunya dan singkat, ada orang baru—kabur menghindar sembunyi,
sebisa mungkin menghindari percakapan, mau ngobrol mikir lama dulu karena blank enggak tau mau ngomong apa. Aku
bosan dengan sisi diriku yang ini. Aku enggak mungkin bisa hidup seperti yang
aku imajinasikan jika sifatku pengecut seperti ini. Dalam hal ini aku butuh
kekuatan ras ekstrovert. Bumi sangat luas tempat kita ini dihuni oleh manusia
yang tersebar merata keseluruh penjuru. Dimanapun aku berada aku akan bertemu
dengan kaumku. Karena aku manusia dan tak bisa aku pungkiri aku adalah makhluk
sosial yang butuh berinteraksi. Kalian
tahu kan kalau ini keahlian ras ekstrovert?
Dengan aku berinteraksi untuk mengenal banyak orang,
bertemu berbagai jenis manusia, bertemu dengan manusia yang mempunyai berbagai macam
sudut pandang, mengetahui berbagai tingkah laku mereka, keberagaman sikap
mereka dan keseluruhan apa yang mereka lakukan untuk menjalani masing-masing hidupnya.
Singkatnya, aku menjadi penasaran bagaimana mereka mengatasi, menyikapi jalan
hidup yang mereka tempuh. Aku mulai belajar banyak hal dari mereka. Hal yang
tak mungkin aku pelajari ketika aku mengunci pintu ku terlalu rapat. Bukankah
untuk mempelajari ini aku butuh kisah mereka? Dengan apa aku tau kisah mereka? Bagaimana
agar mereka mau untuk menceritakan kisahnya untukku? Jawabanya masih sama: ‘berinteraksi dengan mereka’. Lalu apa
gunanya aku belajar dari kisah-kisah mereka? Hmm karena aku nggak perlu jatuh
dilubang yang sama dan bukan tidak mungkin aku bisa menaiki tangga yang sama
dengan mereka untuk mencapai lantai atas bukan?
Interaksi bukan melulu tentang individu per individu
atau dengan segerombolan orang dalam lingkup kecil. Tapi juga interaksi dengan
khalayak umum. Maksudku adalah public
speaking. Public speaking bertujuan untuk menyalurkan ide, gagasan kita
yang sebelumnya hanya berputar-putar diotak kepada audience untuk mempengaruhi,
menguasai, mengajarkan, membujuk mereka sesuai tujuan dari apa yang kita
utarakan. Makanya para public speakers itu jago ngomong. Nah, komunikasi atau
jago ngomong ini paling dibutuhkan kalo kita mau sukses berinteraksi. Supaya
nantinya nggak ada lagi kejadian kaku lidah, kaku otak seperti yang selalu aku
alami.
Manusia bisa bicara, berbagai macam bahasa. Ini salah
satu yang membedakannya dengan hewan. Dan ini juga yang membedakan taraf
kecerdasan kita dengan hewan. Ketika kita bertemu orang pertama kali, bukankah yang
akan kita nilai setelah penampilan adalah tutur kata? Kita bisa menebak sekilas
kepribadian mereka dari cara mereka berkomunikasi. Masalahnya, untuk mengobrol
dengan satu orang yang nggak begitu aku kenal saja adalah hal tersulit bagiku
sejak awal. Apalagi bertemu banyak orang dikeramaian dan harus menjadi pusat
perhatian. Aku tidak tahu bagaimana dan apa yang akan aku lakukan untuk melakukan
hal yang aku enggak pernah bisa menikmatinya. Juga untuk mengobrol—menjelaskan
sesuatu ke orang terdekatku hingga lidahku rasanya terpelintir, jarang dari
mereka yang mengerti maksud apa yang ingin aku sampaikan.
Aku sadari, untuk melalui semua itu aku butuh belajar
menumbuhkan keberanian dalam diriku. Keberanian yang membuatku mampu percaya
diri. Semakin lama akan memunculkan rasa nyaman dalam diriku lalu akirnya aku
juga akan bisa menikmatinya sebab aku akan merasa itu semakin mudah karena aku telah
makin mahir melakukanya. Iya hanya sesingkat itu sebenarnya. Tapi, tapi, tapi,
kata setelah “tapi” yang menjadi alasanku, selanjutnya menjadi penghalangku
karena aku akhirnya terlalu berfokus pada kata dibelakang ‘tapi’ tersebut. ‘Ini
akan sulit’, hal yang sejenis itu. Ini sulit, Karena aku hanya belum sepenuh
hati mencobanya. Belajar sedikit demi sedikit, setahap demi tahap. Aku tau ini
sangat bertentangan dengan sifat diriku. Namun apa salahnya mencoba hal baru
yang akan menguntungkan untukku dikemudian hari? Belajar belajar belajar. Semua
butuh dipelajari karena manusia enggak akan bisa berhenti belajar. Aku harus belajar berinteraksi, aku harus
belajar ngomong. The most important
is I should be brave
Memang, ras introvert dan ekstrovert punya ke khas-an
masing-masing. Mereka punya caranya sendiri untuk mengekspresikan diri mereka. Contohya,
‘jika ras introvert condong ke menulis, ras ekstrovert condong ke public speaking. Jadi tidak perlu mengubah apa yang sudah jadi
bakat alamiah kita, hanya perlu di asah lagi lebih dalam’. Iya itu benar.
Bukankah dengan pola pikir yang seperti itu, aku malah akan membuat pilihan
untuk tidak akan berubah juga aku tidak akan pernah mengembangkan diriku? Aku makin terperosok, membusuk dalam
penjaraku yang kian lama semakin amblas ke bawah jauh dari permukan bumi.
Keterbukaan juga tak selalu membuatku selalu nyaman
pada akhirnya. Aku tetap butuh masa sendiri—sunyi untuk memperoleh rasa nyamanku,
ketenangan-ku. Karena sejak awal aku menyukainya. Sudah aku katakan sebelumnya,
aku serakah karena ingin menjadi introvert yang juga mampu menjadi ekstrovert. Masing-masing
hal pasti ada keuntungan kerugiannya kan? Bukankah jika saling melengkapi akan
lebih mengutungkan? Aku akan tahu kapan aku harus berperan sebagai introvert
dan kapan aku harus ekstrovert. Itu salah satu alasaku.
Aku kagum dengan kekayaan pemikiran ras introvert dan
aku takjub dengan keterbukaan ras ekstrovert. Mereka luar biasa. Nggak ada salahnya kan jadi
ambivert? Lebih memudahkan ku beradaptasi.
Btw ras ambivert dari yang aku baca, mereka punya
sifat dua duanya dari ras introvert dan ekstrovert. Mungkin juga banyak
diantara kalian termasuk ras ambivert. Tapi kebanyakan, walaupun punya sifat
keduanya, salah satu yang akan lebih dominan meskipun hanya sedikit jarak
perbandingan keduanya. Tinggal upaya kita mau di bawa kemana ‘itu’.
Bagaimana menurut kalian?
Tinggalin jejak kalian di bawah
ya^^